Twitter Instagram

GempaR-Papua: Hutan Papua, Bukan Utang Negara

Anggota Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR-Papua) saat melakukan Aksi demo damai, memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia, dengan cara membentangkan spanduk bertuliskan Climate Justice ; Hutan Papua bukan Utang Negara, di Lingkaran Abepura Kota Jayapura, Selasa (9/8/2022)./Foto : Ikbal Asra

Bagi orang Papua, perayaan hari masyarakat Adat bukan sebatas seremonial, tetapi ini momentum untuk menyadarkan orang Papua tentang dampak dari kerusakan lingkungan terhadap kehidupan masyarakat adat Papua, akibat banyaknya penguasaan lahan oleh para investor. Karena itu, peringatan hari masyarakat adat juga adalah momentum melawan balik para perusak dan mempertahankan eksistensi hutan dan tanah masyarakat adat  Papua sebagai hak waris yang diberikan leluhur demi hidup bebas diatas tanahnya sendiri.

Hal itu dikatakan Agus Asso, anggota Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR-Papua) saat melakukan Aksi demo damai, memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia, dengan cara membentangkan spanduk bertuliskan Climate Justice ; Hutan Papua bukan Utang Negara, di Lingkaran Abepura Kota Jayapura, Selasa (9/8/2022).

Dirinya mengatakan, GempaR Papua telah mendorong peringatan hari tersebut sejak 2017, sebagai bentuk penyadartahuan bagi masyarakat adat di Tanah Papua, serta bersolider dan mendukung penuh permasalahan yang terjadi di Papua untuk melawan penindasan.

Saat ini pihaknya mendukung sikap Organisasi Perempuan Adat (ORPA) yang mendorong perlindungan wilayah adat Namblong Genyem dari ancaman investasi PT. Permata Nusa Mandiri yang merampas 32.000 Ha lahan adat, Perempuan yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Tambrauw dalam menolak Investasi PT. Nuansa Lestari Sejahtera yang merampas 120.000 Ha, Perempuan Adat di Pasifik yang mendorong dihentikannya Latihan Perang di Hawai dan Tongga dan mendukung masyarakat adat di Wadon Wadas yang menolak pembangunan bendungan air, serta semua Perempuan Adat Papua yang terus bergerak bersama rakyat Papua pada umumnya melawan segala bentuk  kejahatan perampasan Tanah Adat atas nama pembangunan dan ekonomi yang terjadi diatas tanah ini.

Sejak tiga tahun lalu, kata dia, Presiden Indonesia Ir. Joko Widodo menerbitkan Undang-undang Omnibus Law 2020 (UU No. 11 Tahun 2020), dan disahkannya UU Otsus Jilid II ( UU No. 2 Tahun 2021), serta pemekaran 3 Provinsi di Tanah Papua pada Juli 2022.

Peristiwa dalam 3,5 tahun terakhir, lanjutnya, adalah rangkaian manifesto Negara untuk siap merampas tanah adat Rakyat Papua tanpa kompromi. Bukan sembarang pernyataan, sebab berbagai pemerhati lingkungan telah mengeluarkan data bahwa perampasan tanah adat Papua telah mencapai 29 juta hektar dengan 16 perusahaan besar baik tambang dan sawit di Papua. Dengan artian bahwa Luas Hutan Papua yang tersisa dari target Investasi adalah 13 juta hektar, dari total 42 juta hektar Luas Hutan Adat Papua.

Menurut pihaknya, masa kepemimpinan Presiden Indonesia Joko Widodo telah menimbulkan  2.291 kasus dengan 41 orang tewas dan 546 orang dianiaya, serta 51 tertembak karena konflik agraria di Indonesia.

Di Papua,katanya lagi, dihuni 162 Suku yang tersebar dari Sorong sampai Merauke dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Semuanya kini dalam ancaman serius dengan hadirnya Daerah Otonomi Baru (DOB) seperti Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah dan Saireri yang didalamnya sedang didorong Food Estate yang digencarkan secara bersamaan sejak tahun 2021 dengan luas mencapai 705.100 hektar di seluruh Tanah Papua.

Sebagian Tanah, hutan dan hak hidup masyarakat adat Papua sudah dirampas dengan alasan pembangunan, investasi dan peningkatan ekonomi. Jika negara terus melegalkan praktek ini, ditambah dengan lemahnya masyarakat adat Papua memproteksi tanah, hutan dan wilayah adatnya, maka  cepat atau lambat, puluhan bahkan ribuan orang asli Papua akan menjadi pengemis dan melarat di tanahnya sendiri. (Ikbal Asra)