
Tanah Papua, walaupun kaya dengan hutan dan memiliki ribuan sumber mata air yang mengalir melalui sungai, ternyata masih ada warga papua yang kesulitan mendapatkan air bersih, dan pada beberapa tempat, masih bergantung pada air hujan.
Kondisi itulah yang membuat dua anak muda papua, Herman Ick dan Ribka Yoteni bergabung dalam tim kerja Yayasan Mutiara Hitam Papua mengerjakan projek air bersih melalui pengelolaan air hujan bagi masyarakat Papua di kampung-kampung terpencil.
Herman Ick adalah lulusan Fakultas MIPA Uncen Tahun 2019 yang pernah mengikuti Australian Papuan Cultural Exchange Program (APCEP) di Perth Australia selama tiga bulan pada Tahun 2019. Saat ini dipercayakan sebagai supervisor dan trainner di Yayasan Mutiara Hitam Papua. Sedangkan Ribka Yoteni adalah Alumni Universitas Cenderawasih Tahun 2021, Jurusan Teknik Sipil Program Studi Pengairan atau Penyediaan Air Baku, yang saat ini bekerja di Yayasan Mutiara Hitam Papua sebagai divisi program air bersih di pelosok-pelosok. Herman sudah bekerja di Yayasan Mutiara Hitam dari Tahun 2019, sedangkan Ribka baru diterima bekerja pada awal Tahun 2022.
Program mengolah air hujan menjadi air bersih ini adalah program kemitraan bersama Yayasan Mutiara Hitam, Sinode GKI di Tanah Papua dengan The Black Pearl Network (BPN) Australia. Kemitraan ini melihat ada satu persoalan di Papua yang perlu ditangani khusus itu adalah soal air bersih, dimana sebagian besar masyarakat Papua juga memanfaatkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup hari-hari, karena itu dibuat Clean Water Program dengan menggunakan sistem pembilasan pertama atau The First Flush System (FFS)
Herman mengatakan, kemitraan ini bekerja sama dengan salah satu Professor dari Australia yang memiliki spesifikasi di bidang Hidrologi, yaitu Prof. David Scott seorang Insinyur Teknik Sipil dari Curtin University Australia. Di Black Pearl Network, Prof. David Scott bertugas mengawasi dan mengontrol program air bersih yang dilaksanakan oleh Yayasan Mutiara Hitam Papua.
“Tempat yang sudah kami kunjungi untuk proyek ini adalah, Nabire, Wasior, Biak Utara, Biak Selatan dan Terakhir di Waropen,” ujarnya Herman Ick.
Pemuda 26 Tahun asal Maybrat ini menjelaskan, melalui Yayasan Mutiara Hitam, mereka memperkenalkan sistem pengelolaan air hujan menjadi air yang dapat dikonsumsi oleh rumah tangga, khususnya mereka di kampung-kampung yang bergantung pada air hujan. Sistem ini disebut The First Flush System atau Sistem Pembilasan Pertama (khusus air hujan).
Kenapa menggunakan sistem ini? Karena sistem ini yang paling murah dan dirancang dengan sederhana untuk masyarakat yang hidup di kampung-kampung terpencil. Disamping itu juga, perawatannya tidak sulit. Jadi sistem ini bisa dibangun sendiri oleh masyarakat dan dirawat sendiri oleh masyarakat.
“ Sistem pemasangannya seperti biasa, hanya ditambah beberapa pipa yang dimodifikasi secara sederhana,” ujarnya.
Ribka menambahkan, misalnya di Biak Selatan, warga di sana selama ini tahu prosedurnya dari atap ke talang, lalu dipasang seng untuk menyalurkan air ke tempat penampungan. Mereka juga selama ini beranggapan, kalau air hujan itu kurang sehat untuk dikonsumsi.
Karena itu, mereka senang mendapatkan ilmu itu, selain mudah dirancang tapi juga mudah dioperasionalkan. “Bahan-bahan yang digunakan juga sederhana, jadi langsung nyambung dengan mereka, karena alat dan bahan yang digunakan semua adalah alat dan bahan yang sudah tersedia di kampungnya,” kata perempuan 22 Tahun ini.
Pekerjaan ini kemudian memberikan pengalaman tak ternilai bagi Herman dan Ribka. Keduanya bisa berjumpa dengan masyarakat dari suku dan latar belakang yang berbeda-beda. “ Pekerjaan ini membuat saya merasa sukacita, karena dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang di kampung,” tutur Herman.
Bekal pengetahuan ini juga, sempat mengantarkan Herman diminta sebagai pemateri di Sidang Klasis Wasior. “Saya diminta untuk memberikan materi tentang sistem pengelolaan air hujan menjadi air yang layak konsumsi. Itu kegiatan Gereja yang levelnya cukup besar, jadi merasa bangga bisa sosialisasi tentang pengelolaan sistem air hujan ini kepada para peserta raker,” tandasnya.
Pengalaman Herman lainnya, ketika menempuh perjalanan darat yang sangat jauh dan melelahkan dari nabire ke Wasior. Ada juga waktu lakukan projek di Biak Selatan dan sesuai schedule harus balik ke Jayapura, namun karena ada warga dari Biak Utara yang minta untuk memberikan sosialisasi lagi di kampungnya, akhirnya schedule berubah, karena mau tidak mau, harus memenuhi keinginan masyarakat di Biak Utara.
“Respon orang di kampung sangat luar biasa. Karena ini kebutuhan penting dan sangat mendasar bagi masyarakat yang tergantung pada air hujan. Mereka akhirnya mendapat ilmu dan ide untuk memodifikasi sistem penyaluran air hujan ke dalam rumah,” jelasnya.
Sementara untuk Ribka Yoteni, ia merasa pekerjaan ini tidak semata-mata hanya soal kerja, tapi ini adalah pelayanan. “ Biak Selatan dan Waropen, saya mendapati keluarga baru di sana, kita mendapati lingkungan yang baru, budaya di sana seperti apa, itu menjadi pengalaman yang berharga. Dimana saja kami pergi, kami selalu didoakan. Saya merasakan itu bukan pekerjaan tapi ini adalah suatu pelayanan,” tandasnya.
Respon dari masyarakat di kampung yang dikunjungi juga beda-beda. Dari Biak Selatan misalnya, mereka diberikan souvenir khas dari kampung, berupa piring gantung dan gelang.
Kedua anak muda Papua ini berharap, kiranya contoh yang diberikan dan praktekan, dapat dikembangkan oleh masyarakat di kampung. Dapat berkembang dari satu rumah ke rumah-rumah lainnya, yang dilakukan oleh orang di kampung sendiri.
“Kami punya kerinduan, setelah kami pulang, mereka bisa lanjutkan bagi rumah-rumah lainnya di kampung itu maupun kampung tetangga. Mereka yang menerima sertifikat pelatihan ini, dapat memberikan pelayanan bagi rumah tangga lainnya.
Namun Herman masih penasaran, bagaimana membantu warga yang hidup di dekat aliran sungai yang keruh atau daerah berawah. Ia ingin mencari tahu alat sederhana yang bisa digunakan untuk membantu mereka.
Hingga saat ini sudah ada 6 kampung yang dijangkau oleh Program Air Bersih Yayasan Mutiara Hitam Papua. Di Sentani ada 2 kampung, Nabire 1 kampung, Biak 2 kampung dan Waropen 1 kampung. Karena pandemi yang melanda dunia selama dua tahun terakhir, membuat proyek ini sempat tertunda, dan akan dilanjutkan pada 2022 ini.(abeyomo)