Twitter Instagram

Cenderawasih Mati Bukan Karena Usia

Suasana diskusi publik “Mahkota Raja Yang Berlabel Harga” di Pondok Konservasi Rumah Bakau Jayapura, Sabtu(17/9/2022).

Burung Cenderawasih dalam budaya Papua dikategorikan pada dua hal yakni konsep cenderawasih dalam kehidupan kebudayaan masyarakat di Papua sebelum adanya kontak budaya dengan dunia luar dan sesudah adanya kontak budaya.

Hal ini dikatakan Enrico Yory Kondologit seorang Antropolog dan Kurator dari Universitas Cenderawasih, pada diskusi publik “Mahkota Raja Yang Berlabel Harga” di Pondok Konservasi Rumah Bakau Jayapura, Sabtu(17/9/2022).

Dijelaskan, sebelum adanya kontak dengan dunia luar,Burung Cenderawasih ada dalam tatanan yang sangat sakral,kepemilikan komunal merujuk pada kepercayaan mereka atau religi mereka yang masuk dalam mite atau cerita rakyat atau legenda mereka berhubungan erat dengan sejarah asal-usul,persebaran dan sebagainya.

Kedua, lanjut Kondologit, karena orang Papua mengenal dengan Totem yakni lambang atau simbol leluhur yang melekat. Menurutnya ,di seluruh dunia hanya ada tiga tempat saja yang mengenal totem yang pertama itu di Cina,Indian(Amerika Serikat) dan Melanesia dan Mikronesia.

“ Orang Papua mereposisikan cerita sejarah leluhur itu dilambangkan dengan flora dan fauna, dan  beberapa suku di Papua itu memiliki Totem itu Burung Cenderawasih,” jelasnya.

Masing-masing wilayah atau suku di Papua, lanjutnya, bisa menggunakan Totem atau simbol sukunya masing-masing karena Papua memiliki banyak hal yan unik bukan  hanya cenderwasih.

Founder Rumah Bakau Jayapura, Abdel Gamel Naser yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu mengatakan, Cenderawasih Papua mati bukan karena usia,tetapi ulah manusia, karena itu ia berpesan agar  orang Papua wajib untuk menjaga burung Cenderawasih ini, sebelum burung sorga ini punah.

Diskusi ini dipandu oleh Ketua Earth Hour, Ranum Mansawan dan dihadiri Ketua LBH Papua, Emanuel Gobai, utusan dari  Dinas Kehutan Papua, Ketua BEM Uncen dan berbagai komunitas lainnya di Kota Jayapura.

Perlu diketahui, Cenderawasih yang biasa disebut The Bird Of Paradise merupakan suatu kebanggaan Papua yang sudah ada sejak zaman nenek moyang,tidak hanya kebanggaan tapi identitas maupun ikon bagi Tanah Papua.Banyak institusi atau lembaga yang menempelkan label dari burung kuning ini.

Cenderawasih dilindungi Undang -Undang Nomor 05 tahun 1990 tentang KSDAE dan PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.Kemudian surat Edaran No. 660. 1/SET soal larangan penggunaan Burung Cenderawasih sebagai asesoris\Cenderamata.

Cenderawasih sendiri terdiri dari 14 genus dan 43 spesies(jenis) dan habitat aslinya berada di hutan lebat di Papua.Akan tetapi Cenderawasih Sebagian kecil juga ditemukan di Papua Nugini maupun Australia Timur.

Indonesia disebut sebagai habbit terbaik dimana ada 30 jenis dan 28 diantaranya bisa ditemukan di Papua.Namun banyak terjadi perburuan liar,Habitat yang terganggu,Reproduksi yang lambat serta untuk kepentingan ekonomi.

Cenderawasih masuk dalam status Citex appendix II yang artinya bisa digunakan untuk penelitian namun dengan jumlah yang terbatas.Hanya untuk penelitian namun dengan jumlah yang terbatas.

Kilas baliknya dulu diakhir abad 19 dan awal abad 20,bulu cenderawasih marak di perdagangkan karena menjadi trend penghias topi wanita di Eropa.Cenderawasih dikirim dengan posisi kakinya di potong lebih dulu melalui kapal-kapal barang.Disitulah orang Eropa sering menyebut sebagai burung tanpa kaki dan dikaitkan dengan surga.(Nelce/Ecodefender Jayapura)