
Masyarakat adat pesisir di seluruh nusantara memiliki cara tradisional dalam mengkonservasi potensi hasil laut di wilayah laut mereka. Dan hal ini sudah dilakukan jauh sebelum republik Indonesia berdiri sebagai sebuah negara berdaulat seperti sekarang.
Konsep konservasi tradisional ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia. Di wilayah Indonesia Timur seperti Malauku dikenal dengan nama Sasi, di Biak dikenal dengan nama Sasien dan khususnya di Kampung Malaumkarta Distrik Makbon Kabupaten Sorong Papua Barat, dikenal dengan nama Egek.
Konsep konservasi tradisional ala orang Moi ini diperkenalkan oleh Jefri Mobaleng, koordinator masyarakat adat Moi yang juga adalah Kepala Kampung Malaumkarta Distrik Makbon Kabupaten Sorong ketika diundang sebagai pembicara dalam sarasehan hari kedua Kongres Masyarakat Adat Nusantara (K-MAN) VI dengan topik Situasi dan Tantangan Ruang Hidup Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Terluar di Kampung Kayo Pulau, akhir Oktober lalu.
Menurut Jefri Mobalen, sebelumnya sudah ada permasalahan kerusakan ekosistem laut di wilayah mereka yang disebabkan penggunaan alat tangkap, sejak 1990-an.
Atas dasar itulah masyarakat menghidupkan kembali tradisi egek yang sudah menjadi bagian budaya Suku Moi.
Egek mencakup aturan perlindungan satwa dan pemanenan ikan. Juga ada pelarangan alat tangkap yang merusak yaitu bom, bius ikan, serta jaring. Selain itu, di wilayah egek kami menanam terumbu karang dan menangkar penyu.
Jika ada yang melanggar egek, dikenai sanksi adat. Menariknya, praktik egek ini selain didukung lembaga keagamaan berupa gereja, juga telah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah setempat melalui Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon Kabupaten Sorong.
Jefri menambahkan, hasil atau nilai ekonomi egek dapat menunjang kebutuhan ekonomi dan juga dimanfaatkan untuk kebutuhan bersama masyarakat di Kampung Malaumkarta.
Untuk lobster, penjualan tahap satu hasil egek tanggal 17 Juni 2022 senilai 26,1 juta Rupiah. Penjualan tahap dua tanggal yang sama, senilai 13,7 juta Rupiah. Penjualan tahap tiga pada 26 Juni 2022, hasilnya 20,6 juta rupiah.
Penjualan tahap empat pada 1 Juli 2022, hasilnya senilai 15,7 juta rupiah. Sementara penjualan tahap lima tanggal 9 Juli 2022, senilai 28,7 juta rupiah.
“Untuk teripang yang merupakan hasil penjualan egek terakhir pada 22 Juli 2022 adalah yang tertinggi, senilai 72,8 juta Rupiah,” ujar Jefri.
Sebuah prestasi luar biasa yang patut mendapatkan apresiasi dan acungan jempol dari semua pihak yang berkiblat kepada perlindungan ruang laut di Indonesia.
Secara ekologi, sangat jelas praktik egek mampu menjaga ketersediaan sumber daya alam berkelanjutan. Stok ikan aman dan ekosistem laut terlindungi. Sementara secara sosial budaya, konservasi tradisional ini mampu menjaga nilai budaya yang harmonis dengan alam.
Jefri Mobaleng, lebih lanjut dalam penyampaian terkait peran masyarakat adat dalam pengelolaan pesisir laut dan pulau-pulau terluar menghadirkan contoh keberhasilan masyarakat adat di Kampung Malaumkarta selama kurun waktu tiga tahun yakni tahun 2001 - 2003 dengan hasil pemberlakuan Egek ini, mereka bisa membangun sebuah rumah TUHAN, Gereja GKI Silo Malaumkarta, seratus persen murni dari hasil Egek tersebut.
“Seratus persen murni swadaya masyarakat!” tegas Jefri dengan diiringi aplaus meriah dari para peserta K-MAN dari seluruh nusantara itu.
Kepala Kampung Malaumkarta ini lebih lanjut menjelaskan bahwa Egek mereka diberlakukan semata-mata untuk melindungi potensi laut mereka dari ancaman eksploitasi secara besar-besaran yang akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup biota laut dan terlebih lagi untuk melindungi potensi laut mereka untuk masa depan anak cucu mereka kelak.
Sementara tujuan lainnya adalah untuk mengangkat kearifan tradisional warisan leluhur orang Moi agar dikenal orang lain. Didalam buka tutup Egek ini mereka mengundang pihak lain juga seperti pihak pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan lainnya. Tujuannya untuk memberitahukan kepada mereka bahwa masyarakat Moi di Kampung Malaumkarta Distrik Moi masih eksis.
Mereka juga sudah memetakan wilayah adatnya dengan pemetaan partisipatif untuk ruang laut supaya wilayah laut dapat terjaga dengan baik. Ada zonasi peruntukan wilayah laut sebagai tempat bertelur (spawning ground) bagi beberapa jenis ikan seperti kakap merah dan mubara, zonasi untuk lobster serta teripang dan kerang (lola) termasuk penyu.
Selain memberlakukan zonasi peruntukan, mereka juga mengatur tentang penggunaan alat tangkap. Alat tangkap modern yang bisa merusak biota laut dilarang seperti penggunaan pukat harimau, potasium, dan bom ikan. Alat penangkapan yang boleh digunakan di wilayah Egek adalah alat tangkap tradisional yang digunakan oleh nelayan lokal. (Klemens Membilong)