Setelah melakukan assessment komoditi lokal di Kampung Solol, Waibon dan Waiman, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung kalyam Distrik Salawati Barat dan Kampung Wailebet Distrik Batanta Selatan. Kedua lokasi ini berada di pintu masuk selat sagawin, jalur utama transportasi laut yang masuk ke Tanah Papua.
Perjalanan ke Kampung Kalyam ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam. Posisinya berada di 21,6 KM arah Barat dari Kampung Solol. Ada yang berbeda saat kita tiba di dermaga Kampung Kalyam. Kita bisa melihat kumpulan ikan kecil hingga ikan sekelas bobara, kakap dan jenis lainnya bermain di bawah kolom dermaga.
Mengapa demikian?, karena di dermaga ini diberlakukan aturan Sasi. Pihak Pemerintah, GKI dan Adat melarang kegiatan memancing atau mencari ikan di areal sekitar dermaga. Siapa yang melanggar akan kena kutuk. Semua orang di kampung Kalyam mematuhi aturan itu. Walau tidak tertulis aturan dan sanksinya, tapi semua warga menghormati dan mentaati hal itu.
Selain itu, di depan kampung ini juga ada pulau wisata Sagawin. Di pulau ini ada Patung Yesus yang tingginya kurang lebih 50 meter, dengan dua tangan yang membentang di depan, tanda memberkati. Biasanya tempat ini ramai oleh warga sekitar selat sagawin, jika ada hari-hari besar kristen yang digelar di tempat ini.
Kampung dengan jumlah penduduk kurang lebih 200 jiwa ini, selain penduduk lokal pemilik hak ulayat, juga dihuni oleh beberapa suku bangsa dari bugis, maluku, buton dan nusa tenggara. Rata-rata bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani tradisional.
Dua kali berkunjung ke kampung ini, kami tak menjumpai Kepala Kampung dan aparatnya. Kata warga, kepala kampungnya jarang berada di tempat. Kami hanya bertemu dengan mantan Kepala Kampung Kalyam, Stepanus Napan dan 2 orang pemburu babi hutan, Michael Saidmat dan Yosias Fiatali. Sementara warga lainnya sedang berkumpul di Balai Kampung menyelesaikan suatu permasalahan, sehingga kami tidak ingin menggangu pertemuan itu.
Mantan kepala kampung kalyam, Stepanus Napan mengatakan, secara umum warga di kampungnya adalah nelayan dan petani tradisional. Kebutuhan hidup warganya bergantung pada hasil laut dan hasil kebun, dan hanya beberapa warga yang biasa melakukan aktifitas berburu babi dengan memasang jerat dan menangkap menggunakan bantuan anjing pemburu.
Selain itu, kata Stepanus, ada juga warga yang melakukan usaha kayu. Mereka melakukan aktivitas penebangan pohon dengan chain saw, dan dibuatkan balok untuk selanjutnya dijual ke pembeli kayu di Sorong. Kayu dan udang lobster merupakan dua komoditi primadona yang memberikan banyak uang bagi warga. Sedangkan komoditas lainnya, hanya sebagai pelengkap, baik itu pisang, kelapa dan hasil kebun lainnya.
Sementara itu, pemburu babi hutan, Michael Saidmat menerangkan, dirinya melakukan aktivitas memasang jerat, bukan sebagai pekerjaan utama, tapi hanya sebagai sambilan untuk menjaga agar tanaman kebun tidak dirusak oleh babi hutan. Kalaupun ia dapat babi hutan, biasanya hanya dijual atau dibagi kepada warga di kampung. Tidak sampai menjual ke Kota.
Namun, ia mengakui di waktu lampau pernah memasang puluhan jerat di hutan. Hasilnya beberapa ekor babi bisa ia dapatkan. Hanya saja, dalam perkembangannya, karena faktor usia, kegiatan memasang jerat sudah berkurang, kalaupun ada dipasang, itu biasa dibantu oleh anak laki-lakinya yang sekarang berumur 20 tahun.
Michael juga berbagi pengalaman kelam ketika ia berburu babi hutan. Pernah dikejar dan ditunggui babi hutan saat dirinya menyelamatkan diri ke atas pohon kecil. Hampir seharian ia berjuang sendirian di tengah hutan untuk mengusir babi hutan, tapi usahanya sia-sia. Beruntung ada keluarganya yang mencari, sehingga ia bisa selamat dari ancaman babi hutan itu.
Pria asal NTT yang sudah 30 tahun menetap di kampung Kalyam ini mengaku senang, jika Bentara papua mau menolong mereka dari sisi pemasaran. Hal yang sama juga dikatakan Yosias Fiatali. Karena sekarang mereka memiliki jalur pemasaran, yaitu melalui Bentara Papua. Semoga usaha memburu babi hutan bisa membantu mereka untuk meningkatkan ekonomi keluarga.
Dari kampung Kalyam, kami bergerak ke kampung Wailebet yang berada di Pulau Batanta. Jarak Kalyam ke Wailebet hanya 6 KM, kami tempuh dalam waktu 30 menit. Sebagaimana kampung-kampung sebelumnya, pemukiman di Wailebet juga terlihat rapi, dan jalan kampungnya juga dari rabat beton mengelilingi pemukiman warga.
Jumlah Kepala Keluarga di kampung ini sekitar 86 KK, dengan jumlah jiwa lebih dari 200 orang. Selain warga pribumi, kampung ini juga dihuni oleh warga asal Buton, Bugis, Maluku dan Sanger. Petani dan nelayan merupakan dua mata pencaharian warga di kampung ini, selain usaha perkebunan Kakao dan usaha kayu balok.
Bunyi beberapa chain saw terdengar menggema saat tim Bentara tiba di kampung ini. Terlihat sebuah perahu sudah siap untuk mengangkut balok-balok yang disusun di tepi pantai, hasil olahan dari pohon yang ditebang, entah itu pohon Pometia atau jenis lain, namun inilah salah satu usaha warga untuk mendapat uang yang lebih besar.
Kampung ini juga dikenal sebagai kampung yang memiliki banyak tanaman Kakao dan penghasil biji sirih. Hampir seribuan lebih tanaman Kakao yang tersebar di sejumlah dusun warga. Bila waktunya panen raya, berkilo-kilo biji kakao kering bisa didroping ke penada biji Kakao di Sorong. Bila terserang hama, hanya beberapa kilo saja yang dihasilkan.
Salah satu petani Kakao, Hengky Dimara mengakui tanaman Kakao bila tidak terkena serangan hama, akan memberikan keuntungan ekonomi yang cukup menjanjikan bagi warga. Kata Hengky, hampir sebagian kepala keluarga di kampungnya memiliki kebun kakao, dan mereka itu adalah hasil binaannya.
Hengky yang sudah beberapa kali mengikuti program pelatihan terkait usaha Kakao ini, menuturkan, faktor harga jual kakao yang rendah dan tidak sesuai dengan harapan mereka, menjadi hal yang mengganggu semangat mereka. Dirinya berharap ada kesesuaian harga yang pantas bagi petani Kakao, sehingga ia dan rekan-rekannya di kampung Wailebet bisa semangat dan serius berusaha untuk budidaya Kakao.
Sebenarnya kampung ini juga dahulu terkenal dengan tanaman kopi robusta, tapi entah karena faktor ketidaktahuan, sehingga tanaman kopi di kampung ini sudah dibabat habis digantikan dengan tanaman Kakao.
Sementara itu, Wakil Bamuskam Kampung Wailebet, Ibu Echa mengatakan, ada beberapa warganya yang suka berburu babi hutan, namun mereka sedang berada di hutan, sehingga tidak sempat bertemu dengan tim Bentara. Beberapa pemburu babi hutan di kampung itu adalah suku sanger, yang biasanya mendapatkan babi hutan dalam jumlah yang cukup banyak dengan bantuan jerat.
Selain Kakao, lanjut Bu Echa, ada juga biji tanaman sirih yang melimpah di kampungnya. Sehingga ia berharap Bentara Papua dapat juga memfasilitasi untuk pemasaran biji tanaman sirih. Karena secara umum, warga Wailebet dan beberapa kampung di selat Sagawin, terkendala pada masalah pemasaran. Bukan saja dibeli dengan harga murah, tapi juga tidak wajar.
Selama melakukan kunjungan dan berdiskusi dengan warga di kampung-kampung sekitar selat sagawin ini, nampaknya memiliki karakteristik yang sama. Secara umum potensinya sama, dan persoalannya juga sama.
Pihak Pemerintah diharapkan dapat memainkan perannya untuk mengakomodir persoalan-persoalan ekonomi yang terjadi di kampung-kampung itu.
Perhatian terhadap kesejahteraan warga di kampung-kampung sekitar selat sagawin menjadi penting, karena pemukimannya berada dalam kawasan hutan lindung dan kawasan suaka alam. Supaya hutannya tidak dirusak,alternatif ekonomi dan kesejahteraan harus diciptakan, baik oleh Pemerintah sendiri maupun pihak lain.(Selesai)