Bicara tentang Raja Ampat sebenarnya bukan hanya Waisai, Waigeo, Piaynemo dan Wayag. Tapi di Kabupaten yang namanya sudah mendunia ini, juga ada Pulau Batanta dan Salawati, yang dipisahkan oleh Selat Sagawin. Dua pulau ini juga memiliki potensi laut dan hutan yang tak kalah dengan Waisai dan pulau lainnya di sekitar Raja Ampat.
Ada pulau wisata Sagawin dengan patung Yesus yang menjulang tinggi mengangkat kedua tangannya sebagai simbol pemberkatan untuk setiap kapal dari luar yang masuk ke wilayah Papua. Dan pantainya berpasir putih serta airnya yang jernih biru dengan gugusan karang dan berbagai jenis ikan yang bisa dipandang dengan jelas dari atas perahu.
Hingga awal tahun 2000-an, kedua pulau ini menjadi sorganya para cukong kayu yang telah menghabiskan ribuan log pohon merbau bernilai ekonomis tinggi, dengan menipu penghuni pulau menggunakan sistem barter yang tidak sebanding dengan ribuan log kayu yang diambil.
Hingga saat ini, bekas illegal logging itu masih terlihat di Salawati dan Batanta. Akibatnya, masyarakat setempat tak mudah lagi untuk mendapatkan pohon dengan diameter besar sebagai bahan utama pembuat perahu dan kebutuhan kayu untuk bangunan dan membuat balok untuk dijual. Kondisi itu juga yang dialami warga di Kampung Solol.
Selama delapan hari ( 24- 31 Agustus 2018) kami (bersama perkumpulan bentara papua) melakukan kegiatan assessment menelusuri potensi komoditi pangan lokal pada lima Kampung di Kabupaten Raja Ampat, antara lain Kampung Solol, Kampung Waibon dan Kampung Kalyam di Distrik Salawati Barat, serta dua kampung di Distrik Batanta Selatan, yakni Kampung Waiman dan Kampung Wailebet. Perjalanan ini dimulai dari Kampung Solol.
Berkunjung ke Kampung Solol merupakan kunjungan pertama saya bersama teman-teman dari Perkumpulan Bentara Papua. Solol juga merupakan kampung dari salah satu staf Bentara Papua, Grizon Krey. Walaupun leluhurnya dari Pulau Biak, tapi ia lahir dan besar di Kampung Solol sejak ayahnya ditugaskan sebagai guru di Kampung ini tahun 70-an.
Kami melakukan perjalanan ke Kampung Solol dan juga beberapa kampung lainnya di Pulau Salawati dan Batanta dalam rangka melihat potensi babi hutan dan komoditi hasil perkebunan masyarakat setempat, untuk selanjutnya ditelaah. Jika prospeknya baik, maka akan diteruskan dengan proses pendampingan, dan diharapkan hasilnya akan memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat setempat.
Butuh waktu kurang lebih dua jam menggunakan longboat untuk menempuh perjalanan laut sejauh 36 KM dari pelabuhan Marcopolo Sorong menuju Kampung Solol Distrik Salawati Barat, Kabupaten Raja Ampat. Tapi bisa lebih cepat 30 menit atau 45 menit jika menggunakan speedboat.
Namun, tim sepakat memilih menggunakan longboat, karena selain murah juga dapat bermanfaat langsung bagi masyarakat kampung pemilik longboat.
Bahan bakar bensin yang dibutuhkan untuk sampai ke Kampung Solol, kurang lebih 20 liter.
Setelah mempersiapkan kebutuhan tim, berupa bahan bakar minyak dan bahan kebutuhan pokok lainnya untuk FGD dan bahan kontak, Jumat(24/8/2018) sekitar pukul 10.00 Wit, perahu longboat berukuran panjang kurang lebih 15 meter dan lebar 1 meter lebih itu, melaju di atas kulit air dengan bantuan dua engine 15 PK, menuju Kampung Solol, Distrik Salawati Barat Kabupaten Raja Ampat.
Didukung dengan laut yang tenang dan cuaca cerah serta langit biru, longboat yang dikemudikan oleh Bapak Adel Sawoy, membelah lautan dari laut Sorong menuju Kampung Solol. Namun, sebelum memasuki kampung Solol, hujan lebat menyambut kedatangan kami.
“Ini hujan berkat, pertanda kedatangan kami di kampung Solol direstui oleh alam di sini,” ujar Alink sambil meremas bajunya yang basah kuyup akibat hujan deras itu.
Jam di tangan menunjukkan pukul 12.15 siang, saat kami tiba di Kampung Solol. Suasana nampak sepi, mungkin akibat hujan deras tadi atau bisa jadi sebagian warganya masih di tempat “mencari”. Kami kemudian bergegas mengangkat barang bawaan dari longboat memasuki rumah milik Bapak Adel yang menjadi motoris kami, sekaligus ipar dari Grizon Krey.
Beberapa saat kemudian, aroma kopi sudah tercium. Ibu pemilik rumah seakan mengerti dengan kondisi kami yang kedinginan. “Silakan diminum, maaf hanya kopi,” tutur Ibu pemilik rumah dengan ramah, lalu kembali ke dapur.
Setelah dihangatkan dengan kopi, kami berinisiatif untuk keliling kampung Solol, bertegur sapa dengan warga setempat yang kami jumpai, hingga berfoto ria dengan anak-anak.
Kampung Solol merupakan salah satu kampung tua di pulau Salawati. Ada 110 kepala keluarga dengan 250 jiwa yang menghuni kampung ini. Kepala Pemerintahan Kampung saat itu Oktovianus Sawoy.
Pola pemukiman Kampung Solol terlihat rapi dengan dominasi pohon pinang yang menghiasi seluruh pekarangan warga. Sehingga tak heran jika buah pinang menjadi salah satu cemilan utama di kampung ini, baik tua maupun anak muda.
Selain pinang, Kampung Solol juga dikenal sebagai kampung penghasil durian dan langsat. Biasanya bulan Desember- Januari masyarakat setempat memanen buah durian dan langsat. Pasar Sorong menjadi tujuan pemasaran masyarakat setempat. Tidak hanya durian dan langsat, ada pula biji kakao, buah kelapa, pisang, kayu olahan dan hasil laut lainnya seperti udang, ikan dan mutiara.
Kampung ini juga memiliki tanaman Kopi. Tapi sayangnya, selama ini masyarakat setempat mengganggapnya sebagai tanaman hias. Dan diambil batang, daun dan bijinya saat menggelar perayaan natal, tahun baru atau perayaan pesta lainnya.
” Masyarakat tidak tahu, jadi biasa dipotong (pangkas tegakan muda)waktu ada acara-acara di kampung. Diikat sebagai hiasan di sepanjang jalan atau pintu masuk Gereja,” kata Marinus Saway, salah satu tokoh pemuda setempat.
Mendengar kebiasaan itu, kami kemudian berkunjung ke kebun warga yang memiliki tanaman kopi. Kami temukan satu tegakan kopi yang sudah tinggi, berdaun lebat dan sarat akan buah kopi yang sudah berwarna merah maupun yang masih hijau.
Selanjutnya kami memberi pemahaman tentang tanaman kopi, yang memiliki nilai ekonomis tinggi. ” Selama ini kamu potong-potong uang, padahal ini kalau ditanam dan dirawat dengan baik, bisa dapat uang banyak,” cetus Grizon kepada pemilik tanaman kopi yang tersisa dan beberapa pemuda dalam pertemuan itu.
Di kampung Solol ini juga ada sebuah perusahaan yang beroperasi, yaitu perusahaan yang bergerak di usaha penyuplai mutiara. Ada ratusan pelampung pemeliharaan siput yang ditebar di teluk perairan Kampung Solol. Kabarnya perusahaan ini sudah mengontrak lokasi itu dengan durasi satu tahun bersama pemerintah kampung setempat. Beberapa pemuda Kampung Solol juga dilibatkan sebagai karyawan dalam budidaya siput itu. “Dulunya perusahaan jepang, tapi sekarang orang Indonesia yang kelola,”tutur Grizon.
Hal menarik yang dijumpai di kampung ini adalah terkait peraturan sasi. Pemerintah Kampung, Gereja dan dewan adat setempat membuat kesepakatan bersama yang dituangkan dalam suatu pengumuman yang ditempelkan di pintu masuk kampung dan di beberapa lokasi perairan. Pengumuman itu isinya mengutuk setiap orang yang melakukan aktifitas pengeboman ikan dan bahan-bahan lainnya yang merusak ekosistem perairan setempat.
” Gereja Kristen Injili, Pemerintah dan Adat Kampung Solol, Kutuk Bom, Compressor, jaring tumbuh, senter molo dan potasium dari kawasan alam laut kekuasaan kampung solol. Dilarang keras mencari menggunakan alat-alat berbahaya,” demikian isi pengumuman pada papan yang ditancap di beberapa titik perairan dalam wilayah kekuasaan kampung solol.(bersambung)