
Jika Tanah Papua, sebutan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, dikenal karena keindahan alamnya dan keanekaragaman hayati yang luar biasa, kali ini kita wajib menambahkan satu lagi karakter dari Tanah Papua. Walau kualitas pendidikan di Tanah Papua belumlah memuaskan dibandingkan pulau lain di Indonesia, namun dari sana muncul seorang ahli fisika yang membuat takjub dunia lewat penelitiannya.
Dia adalah Septinus George Saa, peraih medali emas dalam lomba fisika internasional tingkat SMA, First Step to Nobel Prize in Physics, Polandia, pada 2004 lalu. Kemenangan Oge, sapaan Septinus George Saa, memang telah lama terjadi. Namun ada baiknya kita kenang kembali untuk mengingat bahwa Indonesia memiliki pelajar yang amat cemerlang dalam bidang ilmu pengetahuan alam dari daerah yang mungkin tak Anda sangka, terutama ketika pendidikan di daerah tersebut justru bukanlah yang terbaik di sepenjuru Indonesia.
Cerita tersebarnya nama Oge dimulai pada awal 2004, saat kotak surat elektronik panitia dipenuhi ratusan hasil penelitian dari 73 negara. Satu di antaranya, bertajuk Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Network of Identical Resistor, tiba pada hari terakhir lomba. Isinya berupa cara menghitung hambatan dari rangkaian tak hingga berbentuk segi enam. Tak dinyana, hasil riset Oge memenuhi semua kriteria untuk ditetapkan sebagai peraih medali emas.
Menurut Majalah Tempo edisi 19 April 2004, para kampiun fisika yang bertugas sebagai juri hanya butuh tiga hari untuk menetapkan hasil riset pemuda kelahiran Jayapura, Papua, sebagai peraih medali emas. Bagi siswa SMA yang mendiami negara berkembang dengan lebih dari tujuh belas ribu pulau tentu saja itu merupakan mimpi yang menjadi nyata.
Kecerdasan Oge sebetulnya telah terlihat sejak kecil. Setidaknya hal itu yang dirasakan oleh Nelly Wafom, mama Oge. Belum genap berusia enam tahun, si anak bungsu merengek seraya memaksa ikut kakak-kakaknya bersekolah. Hubungan baik orang tua dengan guru sekolah membuat rengekan mengubah statusnya menjadi siswa SD Vim Kotaraja, Jayapura.
Dalam hal kerajinan bersekolah, nama Oge tak termasuk dalam daftar siswa rajin lantaran sering bolos. Ayahnya tak selalu bisa memberi ongkos angkutan umum. Ditambah buku cetak adalah barang langka dari daftar buku sekolah. Untungnya otak Oge bekerja bagaikan spons saat menyerap materi ajar dari guru. Tiap tahun peringkat satu selalu tertulis dirapor Oge.
Suatu hari saat kelas empat, sang guru memberikan tawaran menarik kepada Oge; dia diizinkan mengikuti ebtanas, ujian sekolah yang dua tahun lebih cepat untuknya. Kesempatan itu tak terjadi karena Nelly tak memberi izin lantaran Agustinus, kakaknya, berada di kelas enam.
“Sabar, tak usah sama-sama dengan Agus, biar Oge ujian sesuai dengan umurnya,” tegas Nelly.
Bertahun-tahun berselang, Oge mendapatkan juara umum saat kelulusan SD. Predikat tersebut membuat Oge diizinkan masuk SMP YPPK Santo Paulus Abepura, Jayapura, tanpa tes. “Karena dianggap pintar, Oge langsung masuk SMP tanpa tes,” kata Nelly seperti dikutip Jawa Pos, 21 Mei 2004. Peristiwa serupa juga terjadi ketika Oge masuk SMAN 3 Buper, Jayapura. Sekolah unggulan milik pemerintah ini menanggung semua kebutuhan siswa: dari asrama, seragam, hingga uang saku.
Statusnya sebagai anak bungsu membuat Oge terpaksa “menghindari” Nelly. Oge dan Franky Albert Saa, kakaknya, yakin sang mama tak mengizinkan anak bungsunya terbang ke Jakarta. Tiket ke ibu kota didapat dari Pemerintah Provinsi setelah menjuarai Olimpiade Kimia tingkat daerah. Nelly baru mendapat kabar menjelang Oge terbang. Kekhawatiran mereka ternyata terbukti; sedu sedan Nelly berlangsung selama dua minggu.
Membawa pulang medali emas di First Step to Nobel Prize in Physics bukanlah perkara mudah. Menurut Ketua Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia Yohanes Surya lomba penelitian tersebut menuntut kesabaran, ketelitian, ketekunan, dan daya intelegensi. “Prestasi Saa sangat spesial. Tidak mudah untuk melakukan penelitian ini. Saya sendiri lihat bagaimana ia bekerja keras mengatasi kesulitan yang timbul,” kata Yohanes dilansir BBC Indonesia 8 Februari 2017.
Oge telah mendapatkan gelar sarjana bidang Aerospace Engineering di Florida Institute of Technology, Amerika Serikat, dan melanjutkan kuliahnya terkait teknik material di Birmingham, Inggris. Setelah kelulusannya Oge bertekad pulang kampung dan memajukan pendidikan di Papua. Salah satu impiannya adalah membuat sekolah gratis dilengkapi antar jemput dan makan siang.
“Menurut saya, sekolah dasar harus digratiskan, anak sekolah dijemput setiap hari pulang perginya. Makan siang dikasih gratis di sekolah, dan program pembimbingan khusus disediakan untuk keterampilan khusus. Ini untuk SMP-SMA,” ucap Oge.
“Untuk universitas, saya memimpikan dan ingin menginisiasi penelitian berkolaborasi dan sistem database riset yang lengkap. Untuk Papua, di kampus-kampus, saya ingin menciptakan design center dengan small-scale manufacturing capability. Tujuan saya adalah product creation, yakni penciptaan produk berbasis teknologi yang akan sangat menguntungkan untuk daerah misalnya ekonomi dan bisnis,” tambahnya.
Penulis: Lutfy Mairizal Putra