
Ekosistem mangrove bagi masyarakat suku Sebyar di Kabupaten Teluk Bintuni memiliki arti penting dalam perspektif kehidupan mereka baik dari fungsi ekologi, ekonomi dan budaya. Dalam mitologi orang Sebyar, diyakini bahwa hutan mangrove merupakan pemberian/warisan leluhur bagi mereka, sehingga perlu tetap dijaga kelestariannya agar tidak mendatangkan bencana/musibah bagi mereka, termasuk upaya restorasi ekosistem mangrove oleh masyarakat suku Sebyar di Distrik Taroi.
Menurut Hasan Bauw salah satu tokoh pemuda di kampung Pera-pera, ancaman abrasi pada ekosistem mangrove di Distrik Taroi terus terjadi menyebabkan kampung telah berpindah beberapa kali. Masyarakat sering merasa resah jika terjadinya ombak dan angin ribut karena dapat menjadi bencana ke kampung karena posisi kampung yang terbuka secara langsung menghadap ke Teluk Bintuni.
Informasi silvikultur mangrove untuk restorasi relatif masih sedikit. Pada saat ini telah diketahui spesies-spesies pohon yang dapat digunakan untuk reklamasi ekosistem mangrove, namun kegiatan penciptaan ekosistem yang bernilai bagi perikanan dan konservasi masih jarang, masyarakat suku Sebyar di Distrik Taroi, telah mengenal beberapa jenis mangrove, salah satunya jenis mangi mangi putih (Avicenia eucaliptyfolia) dalam bahasa lokal dikenal dengan “Mbumbuke” sebagai spesies yang sangat toleran terhadap area pasang surut dan memiliki kemampuan tumbuh lebih baik dibanding dengan spesies lain di lokasi pasang surut dengan karakter arus kuat (Hengki, Sorowat, 2019), termasuk area pantai garis pantai Distrik Taroi.
Seiring bertambahnya jumlah dan akitivitas penduduk telah mengakibatkan kerusakan vegetasi mangrove di area tersebut, sehingga menyebabkan Bapak Rajab Sorowat pada tahun 2005 yang pada saat itu memiliki jabatan sebagai kepala Kampung Taroi melakukan upaya reklamasi dengan menggunakan prinsip-prinsip tradisional yang di pegang oleh nenek moyang mereka. Nurdin Bauw ketua LMA kampung Taroi, “Kampung Taroi ini sudah pindah delapan kali akibat abrasi, inisiatif yang diambil oleh Bapak Rajab karena sebagai kepala kampung, dia bertanggung jawab atas keamanan kampung dan keselamatan masyarakat kampung dan juga dianggap bahwa pergeseran kampung yang telah terjadi akibat abrasi merupakan bagian dari teguran nenek moyang orang Taroi.” Gaya kepemimpinan tradisional ini dimulai dengan penanaman kembali mangrove yang melibatkan warga mayarakat kampung Taroi. Dengan pemahaman tradisional, dilakukan penanaman dengan memperhitungkan waktu penanaman, yaitu pada waktu pasang tinggi dipagi hari, pemilihan jenis mangrove, persemaian dan pola tanam serta penentuan alur tanam, dengan mengamati arus dan arah aliran air sehingga pertumbuhan dapat dijamin.
Keberadaan nilai-nilai tradisional perlu digali lebih dalam guna mengatur peruntukkan pemanfaatan hutan yang lebih baik, menghindarkan konflik dan memberi sumbangsih bagi kemaslahatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain serta menjaga kelestarian hutan dan sumberdaya alam di dalamnya. Masyarakat memiliki komitmen memelihara dan menjaga lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan, kawasan seperti ini dilindungi dan akan menjadi tepat untuk belajar menilai hubungan yang harmonis antara kawasan hutan dengan masyarakat karena hubungan yang baik tercermin lewat hutan yang lestari.
“Saat ini membangun kedepan yang terjadi di saat ini saya sebagai manusia biasa hanya bisa berdoa kepada yang Maha Kuasa yang bisa membalas semua jerih payah Team CRP dan semua pihak yang mana melihat kondisi kampung yang menjadi tantangan berat dengan melakukan segala cara untuk mengatasi abrasi di kampung Taroi yang kami cintai ini. Aamin Ya Rabbal Alamiin” pungkas Rajab. Manfaat yang dirasakan masyarakat sangat signifikan, salah satunya adalah sebagai sarang ikan, udang, kepiting dan berbagai macam siput yang sekarang dinikmati oleh masyarakat di Distrik Taroi.
Hasil kerja keras yang dilakukan sejak tahun 2005 – 2020, kita dapat melihat bahwa mangrove di pantai yang dulunya hanya terdapat lumpur (± 2 Kilometer luasannya), di bagian timur sudah tersambung dengan kali (sungai) Terero dan bagian barat tinggal sekitar 500 meter lagi sudah tersambung. Saya mau katakan bahwa cara yang dilakukan sangat tepat sehingga dengan sendirinya tumbuh dan saling menyambung melalui proses secara alami.
Rajab Sorowat, merupakan putra asli suku Sebyar yang lahir pada 30 November 1964 di Taroi, Kabupaten Teluk Bintuni. Rajab Sorowat merupakan anak dari Bapak Abdul Wahap Sorowat dan Ibu Siti Bauw. Perjalanan pendidikan Rajab Sorowat dimulai dari SD Negeri Taroi Kabupaten Teluk Bintuni (1971 – 1977); SMP Negeri Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni (1979 – 1982); Madrasah Aliyah Negeri Fak Fak (1982 – 1986); Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (2011 – 2013). (Benni Inanosa/Kitong Bisa Konsultan)