Twitter Instagram

Hutan, Unsur Utama Pembentuk Kebudayaan Asli Orang Papua

Oleh : Klemens Membilong *)

Membuat atap rumah dari Daun Sagu. Pohon Sagu tak hanya sebagai sumber pangan, tapi juga menjadi sumber penyedia bahan bangunan bagi masyarakat adat Papua di kampung-kampung. ( Foto : Abe Yomo)

Hutan identik dengan kebudayaan orang asli Papua karena dari hutanlah hampir sebagian besar produk budaya dan kesenian orang asli Papua diproduksi. Tak ada hutan, tak ada juga kebudayaan asli orang Papua. Dua sisi dari satu mata uang koin emas hasil tambang Freeport Indonesia yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Selain menyediakan segala kebutuhan hidup masyarakat adat orang asli Papua, hutan atau alam juga menjadi unsur utama pembentuk kebudayaan orang Papua.

Bagi orang Papua hutan adalah ibu yang menyediakan segala kebutuhan hidup manusia.  Konsep alam sebagai ibu inilah yang menjadi basis perkembangan kebudayaan masyarakat asli Papua.

Bagi masyarakat asli Papua tanah berarti awal kelahiran yang memelihara, mendidik, merawat, dan memberikan makanan kepada mereka.

Bagi komunitas masyarakat asli Papua tanah tidak sekedar hanya fisik tetapi ia juga merupakan wujud dari kebutuhan ruang gerak dan ekspresi kehidupan.

Kebudayaan masyarakat asli Papua berkembang secara unik sesuai kondisi alamnya.

Masyarakat asli Papua secara budaya percaya bahwa hewan dan tumbuhan memiliki kekuatan dan menjadi tumpuan hidup mereka. Kepercayaan ini mempengaruhi cara pandang dan perilaku masyarakat asli Papua terhadap alam.

Sebagai contoh, bagaimana masyarakat asli Pegunungan memperlakukan babi dan ubi, dipercaya oleh kepercayaan mereka tentang babi dan ubi sebagai sumber pangan mereka. Mereka mengaitkan cerita tentang asal-usul nenek moyang mereka dengan babi atau ubi.

Contoh lain misalnya masyarakat Marind-Anim di Merauke yang memiliki hubungan yang khas dengan alam sekitar mereka. Setiap marga identik dengan satu jenis hewan atau tumbuhan yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Marga Gebze berperan menjaga keberlanjutan hutan-hutan sagu.

Ini adalah contoh pembagian peran yang memastikan seluruh masyarakat tetap memiliki akses terhadap berbagai sumber daya yang mereka butuhkan untuk hidup.

Alam Menjadi Inspirasi Kesenian dan Ekspresi Diri.

Masyarakat asli Papua di wilayah Pegunungan Tengah menggunakan taring babi, tanah liat, dan berbagai pewarna alami, bulu-bulu burung dan berbagai dedaunan sebagai hiasan tubuh mereka.

Masyarakat Asmat mendapat inspirasi dari ular, buaya, burung, sebagai bagian motif ukiran pada tifa, perisai, perahu, dan bis ukiran menyerupai totem yang dibuat untuk menghormati arwah nenek moyang)

Orang Sentani di Kabupaten Jayapura mendapat inspirasi dari buaya, ikan, ular, burung bangau, kadal untuk menghiasi berbagai benda produk kebudayaan mereka seperti perahu, dayung, lukisan pada kulit kayu Khombouw, maupun piring tempat sagu atau talam/baki yang terbuat dari kayu.

Ritual-ritual dalam berbagai upacara adat biasanya terkait juga dengan sumber daya yang digunakan untuk hidup atau mata pencaharian mereka.

Suku-suku yang tinggal di daerah rawa-rawa dan pantai melakukan upacara terkait dengan sagu - berupa permohonan pada arwah leluhur yang menjaga sagu agar sagu bisa tumbuh subur.

Masyarakat yang tinggal di pesisir melibatkan ikan dan hasil laut lainnya dalam berbagai ritual mereka. Masyarakat Moi di Sorong misalnya, tidak ada laut maka tidak akan ada tradisi Egek. Sebuah tradisi tidak berlangsung di ruang hampa tapi memerlukan tempat dan waktu.

Masyarakat yang tinggal di pegunungan melibatkan babi dalam banyak kegiatan seperti pertukaran, denda adat, upacara perkawinan, kemenangan peperangan dan perdamaian antar para pihak yang bertikai.

Semua hal di atas menunjukkan bahwa alam , khususnya hutan Papua adalah bagian penting yang tidak terpisahkan dari identitas budaya asli orang Papua.

Hilangnya hutan dan lahan-lahan alami secara masif akhir-akhir ini akan secara langsung berdampak pada hilangnya kebudayaan masyarakat asli Papua. Upacara penghormatan pada leluhur yang menjaga hutan sagu misalnya, pasti terkait dengan lahan-lahan sagu. Tanpa hutan sagu, upacara tersebut menjadi kehilangan makna

Oleh karena itu alam dan hutan tidak boleh dirusak, harus terus dipelihara secara baik, dan tidak boleh diperjualbelikan.*)

*) Penulis adalah Jurnalis warga dan Pemerhati masalah lingkungan di Kota Jayapura