
Jauh sebelum dikenalnya sistem perekonomian modern (pra kapitalisme) oleh para pendatang dari luar Papua. Masyarakat lokal di Papua secara formal[1] telah mengenal beberapa tahapan proses pemanfaatan sumber daya alam yang berhubungan dengan sistem interaksi tradisional. Pertama adalah melalui sistem interaksi dengan alam subsisten sebagai sistem transaksi individual. Kedua melalui sistem transaksi berbagi dengan sesama komunitas (satu arah) serta ketiga melalui sistem transaksi barter (dua arah) yang terjadi secara eksternal dengan masyarakat di luar komunitas Papua.
Sistem interaksi dengan SDA adalah proses awal pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga batih (inti). Dalam tahapan ini, masyarakat belum mengenal sistem transaksi ekonomi modern. Sifat ketergantungan masyarakat lokal secara individu (skala keluarga inti) sangat tinggi yang dilaksanakan dengan cara berburu dan meramu hasil hutan. Pada tahapan itu kegiatan transaksi difokuskan pada pemanfaatan untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga inti. Pada awalnya kegiatan ini tidak menyebabkan kerusakan alam karena adanya daya dukung dan pemulihan (regenerasi) alam sangat baik dengan SDA yang berlimpah saat itu.
Interaksi tahap kedua melalui sistem berbagi dengan sesama dalam komunitasnya. Tahapan ini merupakan proses lanjutan dari kelompok keluarga inti yang membagikan hasil berburu/meramu/berkebun kepada kelompok lain dalam komunitasnya tanpa mengharapkan pamrih untuk menerima kembali materi dari kelompok lain. Pada tahapan kedua ini, interaksi terjadi satu arah dan sistem transaksi modern belum berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Interaksi dalam tahapan ini didasari atas nilai-nilai penghormatan dan penghargaan kepada pemimpin kelompok ataupun karena ikatan keluarga (marga) yang dituakan di dalam komunitas masyarakat tersebut.
Tahap ketiga adalah awal masuknya sistem transaksi modern melalui sistem barter. Sistem barter umumnya diperkenalkan dari luar komunitas masyarakat lokal di Papua sebagai bagian dari akulturasi. Pada awalnya prinsip barter pada masyarakat Papua dengan pihak luar merupakan bagian dari pemberian atas dasar penghormatan dan penghargaan yang kemudian menciptakan pranata baru dalam aktivitas sosial.
Para pendatang pertama seperti para ilmuan, peneliti, penyiar agama dan peluang serta pedagang yang datang memperkenalkan aktivitas transaksi tukar-menukar antara hasil SDA dengan barang/peralatan modern berupa bahan makanan, perhiasan, gerabah, kain, pisau, parang dan senjata. Hal ini memunculkan aktivitas sosial baru yang disebut sebagai sistem barter. Sistem ini dipertegas dengan kehadiran pedagang niaga nusantara dan bangsa penjajah yang mulai memperkenalkan sistem nilai kegunaan SDA dengan alat tukar berupa uang sebagai era baru penanda ekonomi kapitalis.
Indonesia dikenal dengan sebagai wilayah pelayaran niaga nusantara yang pernah disinggahi banyak bangsa, seperti Eropa, Cina dan Arab. Sementara gerak niaga nusantara antara wilayah Kepulauan Maluku dan Papua, merupakan aktifitas perdagangan yang sesungguhnya menghubungkan zona-zona kekuatan ekonomi antara wilayah Timur Indonesia. Dapat dikatakan wilayah-wilayah yang dilalui sebagai lintasan perdagangan dari wilayah kerajaan terutama Ternate dan Tidore, merupakan sebuah formasi yang sengaja dibangun untuk memperkokoh kekuatan ekonomi kedua kerajaan tersebut (Handoko, 2007). Kedua kerajaan ini memiliki historis dengan wilayah Papua terutama diwilayah kepala burung seperti Raja Ampat, Fakfak dan Kaimana.
Dalam perkembangannya aktivitas interaksi pemanfaatan SDA alam di wilayah ini semakin intensif dengan meningkatnya pasar permintaan komoditas tersebut, sehingga memaksa masyarakat lokal fokus untuk mencari SDA alam bernilai ekonomi tinggi seperti hasil hutan baik berupa tumbuhan seperti bahan makanan, hasil rempah, satwa burung cenderawasih, dan hasil kebun untuk ditukar. Nilai SDA hutan bagi etnis di Papua sebagai sumber penghidupan materil dan nonmateril mulai tergantikan dengan fokus pada nilai ekonomi sehingga mempengaruhi tatanan perilaku sosial budaya masyarakatnya dengan kehadiran pihak luar sebagai tanda hadirnya sistem modernisasi.
Interaksi melalaui transaksi sistem barter dengan pihak luar meninggalkan bukti sejarah yang sebagain besar masih tersimpan dengan baik. Artefak benda-benda hasil transaksi barter kemudian banyak tersimpan dan dijadikan sebagai benda pusaka dan harta dalam aktivitas ritual adat di Papua. Selain perhiasan logam (gelang, anting, kalung), keramik (piring besar/gantung dan guci), kain tenunan, dan senjata api jenis mosser peninggalan perang dunia II. Benda-benda ini yang kemudian dalam perkembangan masyarakat Papua dijadikan sebagai salah satu material yang berhubungan dengan sistem adat dan perkawinan.
Secara fisik benda-benda pusaka yang digunakan sebagai alat tukar umumnya memiliki karakter: (1) Barang ini termasuk langka (berasal dari luar daerah atau tempat yang jauh) sehingga sulit diperoleh secara perorangan. (2) Peredarannya dikendalikan oleh para penduduk tua, sehingga untuk mendapatkannya harus bisa menempatkan diri dan berbakti kepada mereka terlebih dahulu (Keesing, 1989). Umumnya benda-benda budaya yang merupakan harta dan benda pusaka etnis Papua seperti perhiasan gelang, anting, piring gantung, burung cenderawasih, dan bulu burung kasuarisampai saat ini masih digunakan dalam ritual pesta adat (upacara adat) masyarakat Papua sebagai bagian dari proses interaksi transaksional yang lebih mengarah pada nilai ekonomi global.
Dalam tulisan ini, konstruksi sistem barter jika dikontekstualkan saat ini telah banyak terdegradasi dengan menghilangkan arti sesungguhnya dalam nilai-nilai dan norma tradisional yang menitikberatkan pada penghormatan kesetaraan dan keadilan sosial dalam tatanan masyarakat di Papua. Perlu menjadi catatan dan pengingat bagi semua pihak bahwa sistem interaksi ini turut berpengaruh besar terhadap sistem pengelolaan sumberdaya alam terutama hutan di Papua agar tidak terjebak pada fokus eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata. Keberadaan aspek ekologi dan sosial-budaya Papua adalah bagian penting yang juga perlu dijaga dan dirawat bersama terutama dalam pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.
Oleh : Anthoni Ungirwalu ( Fahutan Universitas Papua)