Twitter Instagram

Papua diminta menurunkan Emisi Karbon? Itu tidak adil

Aktivitas petani tradisional di Danau Sentani saat memanen hasil kebun yang dikelola secara tradisional. Jika situasi sosial ekonomi petani tradisional Papua membaik, dan pada saat yang sama juga menurunkan emisi. Ini adalah rekomendasi untuk upaya yang sesuai dalam penurunan emisi karbon di wilayah masyarakat hukum adat. (Foto : Abe Yomo)

Salah satu upaya untuk mengurangi tingginya emisi karbon bumi yang  berdampak pada perubahan iklim saat ini adalah dengan melakukan penanaman pohon bernilai ekonomi tinggi dan diterima secara sosial.

Hal itu direkomendasikan oleh Prof. Dodik Ridho Nurrohmat, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB dalam salah satu sarasehan K-MAN VI yang berlangsung di Kampung Kayo Pulo pada Selasa (25/10/22) dengan topik Karbon di Wilayah Adat: Berkat Atau Kutuk?

 “Untuk wilayah-wilayah masyarakat hukum adat disarankan menggunakan stocking karbon atau penambahan stok karbon daripada memberlakukan pembatasan-pembatasan atau larangan-larangan!” tegas Prof Dodik, sapaan akrabnya melalui fasilitas teleconference zoom yang diikuti oleh para peserta K-MAN VI dari seluruh Indonesia.

Dijelaskan, memberlakukan pembatasan-pembatasan atau larangan-larangan bukanlah suatu upaya untuk mengurangi emisi karbon, karena kalau mengurangi emisi itu ada implikasinya terhadap pendapatan per kapita nasional.

“Hal itu akan sangat berbahaya jadi kita harus hati-hati. Tetapi kalau yang kita upayakan adalah peningkatan stock karbon, melakukan penanaman tanaman bernilai ekonomi tinggi dan diterima secara sosial itu landcover (tutupan hutannya) juga membaik, situasi sosial ekonominya membaik, dan pada saat yang sama juga menurunkan emisi. Ini adalah rekomendasi untuk upaya yang sesuai dalam penurunan emisi karbon di wilayah masyarakat hukum adat..!!” ujar Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB ini.

Menurut Prof. Dodik, kerjasama dengan pihak Kehutanan untuk penanaman pohon buah-buahan seperti durian, alpukat, tumpang sari dengan nenas itu nilainya rata-rata bisa 400-500 kali lipat dibandingkan dengan melakukan pembatasan atau larangan.

Dalam upaya menurunkan emisi karbon yang harus diperhatikan adalah pembatasan-pembatasan, pelarangan-pelarangan, atau semacam moratorium. Hal-hal ini harus dihindari karena hampir dapat dipastikan bahwa itu akan mengganggu pendapatan perkapita

Keadilan, Kemakmuran, dan Keberlanjutan

Prof.Dodik menambahkan, tiga prinsip dasar di dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat adalah : keadilan, kemakmuran, dan keberlanjutan. Masalah pengelolaan sumber daya alam sebenarnya adalah masalah keadilan, dimana masyarakat hukum adat (MHA) belum mendapatkan keadilan di dalam pengelolaan sumber daya alam.

Keadilan iklim itu jauh lebih penting untuk diperjuangkan daripada kesetaraan iklim. Capaian-capaian di dalam upaya penurunan emisi karbon hanya bisa tercapai kalau ada keadilan iklim. Kalau kita bicara emisi perkapita seringkali itu menempatkan diri kita indonesia sebagai salah satu barometer. Kalau kita melihat emisi total, kita punya 270jt penduduk, kalau menghitung emisi perkapita dalam prinsip keadilan iklim kita menghitungnya harus emisi perkapita.

Indonesia berada di ururan 125 emisi/kapita dunia dengan emisi 2 ton/kapita/tahun sangat jauh dibandingkan dengan misalnya dengan pengemisi karbon terbesar di dunia yakni Qatar dengan jumlah emisi 37 ton/kapita/tahun atau negara-negara Eropa dengan nilai emisi 15-20 ton/kapita/tahun di mana rata-rata emisi perkapita dunia 4,4 ton/kapita/tahun. Indonesia masih 2,03 ton/kapita/tahun artinya emisi/kapita Indonesia kurang dari setengah rata-rata emisi/kapita dunia.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB ini mengatakan, kalau bicara keadilan iklim, harus sangat berhati-hati. Mereka yang tinggal di jabodetabek, memang sudah waktunya menurunkan emisi tetapi kalau mereka yang tinggal di Pedalaman Kalimantan, atau Pedalaman Papua, kalau dituntut untuk menurunkan emisi karbon yang sama itu tidak adil itu seolah-olah setara tapi tidak adil. Ini yang harus diperhatikan.

“Karena mereka yang tinggal di Pedalaman Kalimantan, Pedalaman Sumatera, atau Pedalaman Papua masih memiliki hak untuk mengemisi (right to emit) supaya setidaknya kesejahteraannya mendekati dengan saudara-saudara yang lain. Apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara maju,” ujarnya.

Kata Prof.Dodik lagi, keadilan iklim itu tidak sama dengan kesetaraan iklim. Jika emisi saat ini dianggap berlaku setara untuk semua, misalnya Indonesia menurunkan 29% dengan upaya sendiri atau 40% dengan bantuan internasional, kemudian negara yang lain dengan menurunkan emisi misalnya 30%, itu masih 20 ton kita menurunkan 30% juga dari baselina kita 2 ton itu berarti kita masih sekitar 1, sekian ton makin jauh dari kata adil. Mestinya kalau kita mau adil setiap orang berusaha utk mendekati rata-rata emisi dunia. Jadi mereka yg emisinya masih di bawah 4 mestinya itu masih memiliki hak untuk mendekatkan pada tingkat kesejahteraan dalam bentuk yang ada konsekuensi menaikkan emisi.

Dalam konteks masyarakat hukum adat (MHA), Prof.Dodik menyarankan untuk menghindari upaya penurunan emisi yang sifatnya pembatasan-pembatasan tetapi yang diutamakan adalah yang sifatnya meningkatkan stocking karbon dengan meningkatkan budidaya tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan diterima secara sosial karena pendapatan perkapita dan pertumbuhan emisi itu korelasinya hampir linier dimana jika kita tidak hati-hati dalam upaya penurunan emisi maka implikasinya bisa terjadi penurunan pendapatan/kapita.

Upaya penurunan emisi itu harus bersamaan atau berdampingan dengan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Klemens Membilong)