
Dulu ketika ikut bapa dan mama ke kebun, kami dayung pakai perahu kole-kole atau dalam bahasa sentani disebut Khai. Tapi sekarang, khai sudah tidak ada, diganti dengan perahu ketinting dan speed boat. Saat ini semua petani dan nelayan di Kampung Ayapo mau ke kebun atau pergi cari ikan, lebih mudah dan cepat menggunakan ketinting dan speedboat yang melaju di atas kulit air Danau Sentani dengan bantuan mesin.
Kalau kebun di dusun Kholuai atau Bhuaibu ( Nama dusun dalam wilayah adat Kampung Ayapo ), waktu tempu dengan dayung antara 45 menit – 60 menit. Dengan ketinting bisa dicapai dalam waktu 25-30 menit. Tapi kalau pakai speed boat, 10-15 menit sudah sampai di dusun itu. Belum lagi saat menghadapi gelombang danau, bisa menyebabkan pulang larut malam dari kebun, karena menunggu waktu ombak redah.
Ya, perubahan zaman memang membuat semua jadi lebih mudah dan cepat. Dan semua yang serba mudah dan cepat itu pasti mengorbankan nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam konteks perahu tradisional sentani, perubahan ini menyebabkan lunturnya pengetahuan dan kearifan lokal, yang sebenarnya memiliki efek yang jauh lebih besar bagi kualitas hidup orang Sentani.
Dengan dayung perahu di atas Danau Sentani, tanpa disadari orang sentani sedang berolahraga membentuknya otot-ototnya menjadi kuat, selain itu juga menyehatkan jantung dan pernapasan, karena aktifitas dayung itu membuat aliran darah dalam tubuh terus bekerja. Dampaknya orang di kampung waktu itu tampak gagah-gagah dan perkasa serta tidak mudah sakit. Bahkan dalam perlombaan Volly, Black Arrow- tim Volly asal Kampung Ayapo ini, selalu jadi langganan Juara dan menjadi tim yang menakutkan bagi lawan. Tapi sekarang semuanya sirna ditelan perubahan zaman.

Tapi sebelum pengetahuan tentang perahu tradisional ini benar-benar hilang dari kehidupan orang yang hidup di Danau Sentani, khususnya di Kampung Ayapo, saya coba menghadirkan tulisan ini sebagai bagian dari tanggung jawab saya untuk mengarsipkan nilai-nilai kearifan lokal dari kampung saya, yang sangat disayangkan kalau generasi yang akan datang tidak mengetahuinya.
Masyarakat Kampung Ayapo Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura Provinsi Papua merupakan sekelompok masyarakat asli, yang memiliki pola hidup, adat istiadat,kehidupan sosial budaya dan bahasa yang sama dalam satu kampung. Hal ini disebabkan karena masyarakat di Kampung Ayapo hanya terdiri dari Suku Sentani, sehingga biasanya apa yang diucapkan atau dilakukan masyarakat dalam satu kampung dapat dimengerti dan dilakukan oleh seluruh masyarakat yang berada dalam kampung tersebut.
Pengetahuan mengenai cara pembuatan perahu tradisional ini merupakan pengetahuan asli masyarakat setempat. Pengetahuan ini diperoleh secara turun-temurun. Tidak semua masyarakat di Kampung Ayapo mengetahui cara pembuatan perahu. Pengetahuan ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang biasanya mengikuti para orang-orang tua di masa lalu untuk membuat perahu. Jadi pengetahuan dalam pembuatan perahu tradisional ini dapat diketahui oleh siapa saja,asalkan yang bersangkutan selalu mengikuti setiap kegiatan pembuatan perahu, maka ilmu dari para ahli yang membuat perahu dapat diturunkan kepadanya.
Ada suatu nilai budaya dari masyarakat Ayapo menyangkut hal penggunaan perahu. Dimana masa pakai perahu ditentukan oleh orang yang menggunakannya,cocok (Maye) atau tidak cocok (Maye bam) dengan jenis pohon yang digunakan.Hal ini dapat diketahui sewaktu dilakukan penebangan, jika pohon yang ditebang mengalami kerusakan batang yang cukup berat, misalnya terjadi keretakan yang besar maka dapat diketahui bahwa orang tersebut tidak cocok dengan jenis pohon tersebut.
Menurut beberapa tetua adat yang pernah saya wawancarai mengatakan, masa pakai suatu perahu akan lama jika tidak melanggar suatu aturan adat. Aturan tersebut adalah jika perahu baru dibuat,tidak diperbolehkan anak muda atau pengantin baru menggunakannya,juga tidak diperbolehkan bagi orang tua yang baru melakukan hubungan seks. Dapat diperbolehkan setelah perahu tersebut berumur kurang lebih satu bulan.
Dalam proses pembuatan perahu ini,juga tidak ada upacara-upacara ritual yang dilakukan, baik pada saat peluncuran ataupun pengujian perahu. Bahkan, para ahli yang membuat perahu biasanya tidak menerima upah dalam proses pembuatan perahu, karena mereka bekerja secara golong royong untuk membantu orang yang memesan. Tetapi orang yang punya perahu tersebut mempunyai kewajiban untuk memberi makan kepada para pekerja atau pembuat perahu selama mereka bekerja membuat perahu.
Selain itu, dalam hal pengambilan kayu dari hutan dapat dilakukan secara bebas, tidak ada larangan dari pihak manapun yang membatasi pengambilan kayu. Hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja tetapi hanya boleh dilakukan dalam batas wilayah kekuasaannya. Mereka tidak diperbolehkan untuk mengambil kayu dari wilayah kekuasaan orang lain tanpa seijin pemiliknya. Tidak ada pembatasan jumlah kayu yang dapat diambil, mereka dapat mengambil sesuai dengan kebutuhannya.
Pemanfaatan jenis-jenis yang biasa digunakan, ada dilakukan upaya konservasi, seperti penanaman dan pemeliharaan. Namun sayangnya, yang dapat tumbuh dengan baik hanya jenis-jenis yang berumur 1-3 tahun. Sedangkan untuk jenis tumbuhan yang dianggap baik untuk perahu, seperti jenis yang kuat dan awet setelah ditanam pertumbuhannya tidak normal dan banyak yang mati. Hal tersebut mengakibatkan jenis-jenis tersebut semakin sulit didapat, dan mulai punah. Jenis-jenis tersebut adalah Enayeh (Tesmaniodendron sp),Holi (Dysoxylum acutangulum) dan Nale(Plerocarpus indicus).
Masyarakat di Kampung Ayapo juga memiliki pengetahuan lokal dalam menentukan kriteria pohon untuk badan perahu, yaitu memiliki jenis kayu yang kuat, awet, tidak mudah pecah, lurus, ringan,tidak keras sehingga mudah dibentuk dan memiliki batang bebas cabang yang tinggi. Jenis-jenis kayu tersebut adalah Enayeh (Tesmaniodendron sp), Eme (Pometia pinnata),Holi(Dysoxylum acutangulum), Hauw (Callophylum kiong), Hambai (Parkia sp),Khembo(Nauclea sp), Melam (Litsea tuberculata),Nale (Pterocarpus indicus),Nokhole(Canarium indicum), Numbay (Pipturus sp), Oratauw (Toona sureni), Polly(Campnosperma brevipetyolata ), Rebah ( Terminalia sp ), Raime ( Octomelessumatrana ), Ruu ( Artocarpus sp ), Whebo( Alstonia scholaris).

Jenis Tumbuhan yang dianggap kuat dan awet adalah Enayeh (Tesmaniodendron sp) dan Nale(Plerocarpus indicus ), yaitu dapat digunakan kurang lebih 18-20 tahun. Tesmaniodendron sp termasuk dalam kategori kelas kuat II dan kelas awet I, sedangkan Pterocarpus indicus termasuk dalam kelas kuat II-III dan kelas awet I-II. Beberapa jenis lain yaitu Holi (Dysoxylum acutangulum),Melam(Litsea tuberculata)dan Khembo(Nauclea sp),tergolong kayu kelas kuat II dan kelas awet III.
Hingga awal Tahun 2000-an, ketika saya melakukan penelitian identifikasi jenis, saya menemukan jenis yang banyak digunakan saat itu adalah Raime ( Octomeles sumatrana),Hambai ( Parkia sp ) dan Whebo(Alstonia scholaris). Ketiga jenis tumbuhan ini yang sering digunakan masyarakat setempat, karena selain potensinya besar juga masih banyak ketersediaannya di hutan sekitar Kampung Ayapo. Sedangkan jenis tumbuhan yang dianggap kuat dan awet sudah sulit ditemukan. Kalaupun ada, lokasi pengambilannya makin jauh ke dalam hutan. Karena pohon yang dibutuhkan untuk membuat perahu, ukuran diameternya harus di atas 50 Cm.
Masyarakat di Kampung Ayapo memiliki model perahu tradisional dengan ciri-ciri bagian depan dan belakang perahu dibuat rata melancip ke bagian ujung perahu, sebagai fungsi menadah gelombang danau, sehingga air tidak mudah masuk ke dalam perahu, tidak menggunakan semang, tidak menggunakan layar, dan memiliki ukiran pada badan perahu.
Berdasarkan fungsi dan bentuknya terdapat dua model perahu tradisional yang dikenal di Kampung Ayapo, yaitu model Khai dan Ifa, dimana Khai ukurannya besar dan disebut perahu perempuan karena sering digunakan oleh kaum perempuan sebagai fungsi transportasi ke kebun dan mencari ikan. Sedangkan Ifa ukurannya kecil dan dibagian muka perahu dibuat meruncing dan di sebut perahu laki-laki karena sering digunakan oleh kaum lelaki, sebagai fungsi transportasi mencari ikan,berburu dan berkebun. Dalam penggunaannya, perempuan menggunakan khai dengan posisi duduk di dalam perahu lalu mendayung,sedangkan laki-laki menggunakan perahu dengan posisi duduk di atas kedua sisi perahu lalu mendayung,jadi diperlukan keseimbangan badan yang baik dalam penggunaannya.Jika keseimbangan badan kurang baik,bisa mengakibatkan si pemakai ifa jatuh ke air atau terbalik.

Sepertinya kurang lengkap kalau saya tidak membahas tentang dayung, penyangga dinding perahu dan timba-timba air. Nah, masyarakat di Kampung Ayapo juga memiliki pengetahuan lokal dalam menentukan kriteria jenis pohon untuk membuat dayung, yang mana kayu untuk dayung bahannya harus kuat,lurus dan awet. Jenis yang biasa digunakan adalah Yaa(Intsia sp).
Menurut masyarakat,Yaa yang isi kayunya merah dapat tenggelam, sedangkan yang isinya putih hanya terapung. Namun masyarakat cenderung menggunakan kedua-duanya,karena tidak mempengaruhi dalam melakukan perjalanan.Dayung yang digunakan masyarakat ada 2 model,yaitu model dayung laki-laki dan model dayung perempuan. Dayung laki-laki ukurannya panjang dan tidak memiliki ukiran, sedangkan dayung perempuan ukurannya pendek dan memiliki ukiran pada pipih dayung. Pipih dayung perempuan agak lebar dari pipih dayung laki-laki, hal ini dimaksudkan agar memacu kecepatan jalannya perahu.
Sedangkan untuk membuat Penyangga Dinding Perahu, jenis kayunya harus lurus dan kuat. Jenis yang digunakan adalah Ukom ( Macaranga sp ). Jenis-jenis lain juga dapat digunakan,seperti Piper adontum dan Eugenia sp namun masyarakat cenderung memilih Ukom (Macaranga sp),karena dianggap mudah didapat dan memiliki nilai seni.
Sementara untuk timba-timba air, bahan yang digunakan diperoleh dari kulit mayang kelapa,dimana kulit mayang kelapa tersebut diambil setelah jatuh dari pohon kelapa.Kulit mayang kelapa tersebut kemudian dipotong dan diambil dari bagian tengah hingga ke ujung yang runcing sebagai tempat pegangan. Digunakan kulit mayang kelapa karena selain ringan dan mudah diperoleh tetapi juga bentuknya yang khas untuk mengeluarkan air dari dalam perahu.
Itulah cerita riwayat perahu tradisional asal suku Sentani di Kampung Ayapo yang kini sudah mulai punah dan digantikan fungsinya oleh ketinting dan speed boat. Jadi ketika anda berkunjung ke Danau Sentani dan melihat ada nelayan atau orang yang menggunakan perahu tradisional sentani Khai atau Ifa, anda termasuk orang yang beruntung. (abe yomo)