Twitter Instagram

Perilaku Jual Tanah dan Pembalakan Liar Serta Dampaknya Terhadap Menurunnya Kualitas Ruang Hidup Masyarakat Adat

Potongan kayu balok dari para pembalak liar yang ditemukan di sepanjang jalan Muara Tami - Kota Jayapura ( Foto : Klemens Membilong)

Alam adalah ruang hidup manusia yang harus dijaga kelestariannya demi anak cucu kita di masa depan. Definsi bebas ruang hidup adalah udara, sungai. Laut, gunung, hutan, sumber air dan lain sebagainya yang berfungsi menopang kehidupan manusia. Bukan makhluk asing atau alien dari planet lain yang bertugas untuk menjaganya tetapi merupakan tanggungjawab mutlak manusia itu sendiri untuk menjaga dan melestarikannya.

Nenek moyang orang Papua tidak pernah jual tanah. Mereka dengan kesadaran tinggi menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup mereka sesuai dengan kearifan tradisional (indigenous knowledge) yang mereka miliki di masing-masing wilayah adat mereka,

Namun seiring berjalannya waktu, modernisasi mulai unjuk gigi, roda perekonomian modern berputar dengan kencang, rupiah menjadi tiket masuk ke segala sesuatu maka kesadaran untuk menjaga alam sebagai ruang hidup mulai memudar dan di sana sini di Papua kita mendengar  berita tanah di lokasi-lokasi tertentu telah dijual, papan nama bertuliskan tanah ini milik si A, tanah ini milik si B, C, dan seterusnya berdiri di mana-mana. Dan ketika dibaca nama yang tertera sudah bukan nama pemilik asli sebelumnya tetapi nama oknum si A, B, dan C di atas tadi. Pemilik baru, tuan tanah baru.

Fakta di lapangan memperlihatkan dalam proses jual beli tanah ini ada hutan yang dikorbankan. Baik hutan primer, hutan sekunder, maupun hutan tersier. Semua harus dibersihkan (land clearing). Dibabat habis. Margasatwa yang hidup didalamnya kehilangan rumah satu-satunya tempat mereka tinggal dan makan di situ. Lahan itu dibabat habis untuk kemudian ditimbun untuk mempermudah proses selanjutnya. Udara di sekitar lokasi tersebut menjadi panas, tidak sesejuk waktu-waktu sebelumnya. Kualitas udara menurun.

Uang memang diperlukan tetapi uang bukan segalanya untuk kelangsungan hidup manusia. Manusia tidak bisa makan uang. Manusia Papua hanya bisa makan papeda, keladi, betatas, singkong, ikan, udang, ayam, babi dll yang semuanya itu bisa hidup kalau ruang hidup atau ekologi mereka terjaga dengan baik.

 Manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Manusia Papua tidak bisa hidup tanpa hutan, tanpa dusun sagu, tanpa dusun pinang, tanpa dusun kelapa, tanpa kebun dan/atau ladang. Selain itu sungai, danau, laut, dan rawa yang menyediakan ikan, udang, dan segala yang ada didalamnya sebagai sumber protein hewani bagi manusia.

 Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi (UU No.18 Tahun 2013 Bab 1 Pasal 1  Ayat 4). Kegiatan ini melibatkan dua pihak utama sebagai pemain inti, bukan pemain cadangan, pembeli dan penjual, Hukum ekonomi universal supply and demand berlaku di sini. Di satu sisi ada pihak yang membutuhkan kayu untuk berbagai keperluan sedangkan di sisi lain ada pihak yang menyediakan kayu tersebut untuk memenuhi permintaan tersebut.

Negara sudah memiliki sejumlah besar regulasi yang mengatur tentang tata kelola dan pemanfaatan hasil hutan. Baik undang-undang, peraturan pemerintah, Perpres, Kepres, Permen, Kepmen sampai dengan Peraturan Daerah (Perda), Namun ada pihak-pihak tertentu yang bermain kucing-kucingan dengan pemerintah dengan melanggar berbagai macam regulasi tersebut, Baik melalui kerjasama dengan “orang dalam” di pemerintahan maupun dengan aparat keamanan untuk memuluskan bisnis Illegal logging ini.

Tak terkecuali masyarakat dan pemimpin adat orang Papua juga ikut menjadi pemain dalam “permainan kotor” ini. Istilah terkenal yang mereka gunakan untuk truck pengangkut kayu hasil pembalakan liar adalah ”Gerobak”. Lewat percakapan telpon atau komunikasi platform media social mereka sering menggunakan istilah itu. “Wooii..ko mo beli kah? Ada 3 gerobak nih” contoh percakapan terkait “Gerobak” diatas.

Aktifitas ini berpengaruh langsung terhadap menurunnya kualitas salah satu komponen ruang hidup yakni udara. Sebagaimana rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa Air Quality Index – Indeks Kualitas Udara provinsi Papua berada di urutan ke- 5 dari 10 Besar provinsi dengan Indeks Kualitas Udara (IKU) terbaik di Indonesia. Dapat dibayangkan Papua yang dinobatkan sebagai Amaxonnya Indonesia kualitas udaranya berada jauh di bawah provinsi Kalimantan Utara sebagai pimpinan klasemen. Apa penyebabnya?

Di wilayah-wilayah tertentu di Papua ada oknum pemimpin adat yang menjadi penjual tanah dan melakukan pembalakan liar. Mereka menggunakan posisi mereka dalam struktur adat di kampung-kampung tertentu untuk membenarkan perbuatan mereka itu. Ketika ada protes dari masyarakat adat mereka akan berkata “Bukan ko pu tanah yang sa jual, sa jual sapu tanah!”. Ketika ada protes masyarakat tentang pembalakan liar yang mereka lakukan, responnya : “Hutan dan gunung saya punya, bukan kamu masyarakat kecil”.

Masyarakat adat dihancurkan ruang hidupnya oleh pemimpin adat mereka sendiri yang money minded person .

Jika kita menggunakan analogi sungai : JIka mata airnya kabur, maka otomatis aliran airnya sampai di muara semuanya akan kabur, Jika pemimpin adat adalah mata airnya dan mata air tersebut kabur maka dia sudah gagal menjadi seorang pemimpin adat yang baik. Sebaliknya jika dia adalah mata air yang jernih maka masyarakat adatnya akan menghormatinya, masyarakat adat akan sejahtera dan yang lebih utama adalah alam sebagai ruang hidup pemimpin adat dan masyarakat adat akan terjaga kualitasnya karena pemimpin adat dan masyarakatnya bersinergi bahu membahu menjaga ruang hidup alam tempat mereka hidup.( Klemens Membilong/Jurnalis Warga Kota Jayapura )