
Dalam buku Bioregion Papua ; Hutan dan Manusianya yang diterbitkan oleh Forest Watch Indonesia (2019), ditulis bahwa untuk memahami masyarakat di Papua yang mayoritas memiliki hubungan erat dengan alamnya, penting dipahami beberapa pendasaran sebagai berikut:
Pertama, Hubungan manusia dengan tanah dan sumberdaya alamnya bersifat kompleks dan berlapis (Sosial, Budaya, Ekonomi, Ekologi, dan Spiritual). Sehingga dalam praktiknya tidak dapat boleh disederhanakan hanya pada satu dimensi saja. Pemisahan kompleksitas dan lapisan-lapisan hubungan tersebut secara terus menerus akan dapat menggoncangkan sendi-sendi sosial, ekonomi, politik dan keberlanjutan ekologis. Masyarakat Papua dalam praktiknya juga masih memiliki ragam pengetahuan lokal hasil hubungan panjang dengan tanah, air, hutan, gunung, laut, sungai, danau dst. Yang tentu saja, di dalamnya ada dinamika dan proses yang terus menerus berubah selaras masalah dan tantangan yang dihadapi.
Secara umum hampir semua kelompok etnik di pedalaman Papua meyakini bahwa daerah pedalaman atau dataran tinggi dan gunung-gunung adalah gudang keramat berbagai makanan, harta benda, kekayaan yang melimpah untuk dinikmati masyarakat seumur hidup. Pada beberapa masyarakat adat Papua menyebutkan bahwa gunung-gunung di sekeliling suku Moni misalnya, memuat harta karun. Suku-suku asli Papua di pedalaman masih meyakini bahwa hanya pendatang yang tahu bagaimana mencapai harta karun tersebut dan tidak akan mau memberitahukannya kepada penduduk asli sebab ingin memiliki sendiri. Dalam pandangan manusia Papua mengenai alam, Tuhan dan roh sebagai satu kesatuan yang melingkupi kehidupan manusia merupakan manifestasi ajaran monism yang mempunyai makna positif dalam upaya pelestarian alam. Manusia adalah bagian dari alam, sehingga kalau ia merusak alam berarti merusak dirinya sendiri.
Manusia Papua mengidentikkan alam dengan orang tua, sehingga tanah dianggap sebagai ibu (mama). Dengan demikian jelas bahwa masyarakat Papua mempunyai hubungan spiritual yang istimewa dengan tanah. Bagi sebagian besar suku asli Papua, tanah adalah tempat dimana berlangsungnya kehidupan dari generasi ke generasi. Dalam tradisi dan budaya Eko-Budaya Melanesia, tidak ada kawasan lingkungan di Papua yang masuk dalam kategori “no man’s land” atau tanah tidak bertuan. Setiap jengkal tanah mempunyai relasi budaya dengan masyarakat adat sekitar. Singkatnya, bagi manusia Papua makna konsep tanah meliputi seluruh wilayah yang digunakan masyarakat Papua termasuk laut, sungai, gunung dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
Kedua, Tanah-air, alam dan sumber-sumber agraria bukan sepenuhnya barang dagangan (komoditas). Sehingga pengelolaannya tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Mandat dan prinsip-prinsip tentang tanah dan agraria dalam UUPA No. 5/ 1960 dapat menjadi rujukan dasar pandangan ini. Hal inilah yang menjadi dasar masyarakat Papua melihat alam dan ruang hidupnya. Sehingga seluruh sistem tata kelola atas alam mereka tak sepenuhnya semata untuk kepentingan komersil (pasar). Artinya, jika ada kerusakan dan krisis sosial-ekologis dari ruang hidup masyarakat Papua bisa ditelisik lebih jauh, sampai mana pandangan ini berubah atau tetap bertahan?
Secara kosmologis nilai budaya tanah sebagai ibu yang berlaku umum di Papua menunjukkan bahwa wawasan kosmologi Papua lebih bersifat “inward looking philosophy” yang berisikan atau mengandung konsep, prinsip dan pandangan yang mempertahankan, menjaga, dan menjamin kelestarian lingkungan hidup yang berkesinambungan. Hal ini berarti, bahwa hubungan antara manusia Papua dengan alam adalah hubungan yang bersifat religi-magis yang bukan semata-mata agama (karena banyak orang tidak beragama), tetapi suatu pandangan hidup yang bermartabat tinggi terhadap material di alam, yang terdiri dari dua macam pandangan: (a) Kepercayaan, beberapa benda-benda, tumbuhan mempunyai jiwa (b) suatu kepercayaan, benda-benda atau tumbuhan mempunyai gaya gaib (dinamismo). Budaya “religio-magis” berlaku dalam berbagai hukum adat (termasuk adat pantang larang) yang mengatur tentang pelestarian lingkungan hidup dalam bidang kehutanan dan pertanian, ekonomi, sejarah serta hak ulayat di Papua.
Ketiga, Masalah-masalah berdimensi agraria bersifat historis. Masalah-masalah tenurial dan agraria yang hadir di masyarakat Papua sekarang ini, adalah (sebagian atau keseluruhan) adalah endapan dan akumulasi dari persoalan panjang dari kebijakan ekonomi-politik nasional, selaras dengan sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga menjelaskan masalah-masalah tenurial dan agraria di masyarakat Papua, mesti dilihat dalam perspektif historis kritis.
Orang Papua memahami sejarah kebudayaan manusia itu seperti episode atau babakan-babakan tertentu yang terus-menerus berganti. Kejadian dan aktor dari babakan yang satu diganti dengan aktor dari babakan lain, yang kadang-kadang tidak berhubungan satu dengan lainnya. (ist)